Analisis Perjuangan R. E. Martadinata

Halo, teman-teman semua, kira-kira udah berapa lama ya nggak past, sampe lupa terakhir kali ngepost di blog ini, hahaha...
Kali ini saya akan mengepost sesuatu yang Out Of Topic, tapi nggak ada salahnya kan teman teman membacanya. Ir. Soekarno pernah berkata "JAS MERAH" yang berarti JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH. Nah, maka dari itu, saya rasa penting untuk menulis tulisan ini sebagai selingan di blog, semoga teman-teman menikmati tulisan saya :D

Laksamana Laut Raden Eddy Martadinata lahir di Bandung, 29 Maret 1921. Beliau mempunyai seorang istri yang bernama Soetiarsih Soeraputra dan dari pernikahan tersebut menghasilkan lima putri dan tujuh putra, yaitu
1.      Soehaeny Martadinata,
2.      Siti Khadijah Martadinata,
3.      Siti Judiati Martadinata,
4.      Irzansyah Martadinata,
5.      Siti Mariam Martadinata,
6.      Vittorio Kuntadi Martadinata, dan
7.      Roswita Riyanti Martadinata
R.E. Martadinata pernah bersekolah di HIS (Holland Inlandsche School) di Lahat sampai pada tahun 1934, kemudian dilanjutkan di MULO-B (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs bagian B) di Bandung dan lulus pada tahun 1938, dan AMS (Algemene Middelbare School) di Jakarta pada tahun 1941 dan Sekolah Pelayaran Tinggi. R. E. Martadinata tidak sempat menyelesaikan Sekolah Tehnik Pelayaran karena pendudukan Jepang. Selanjutnya R. E. Martadinata masuk Sekolah Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan Jepang. Selama mengikuti pendidikan, ia tampak menonjol sehingga diangkat menjadi Guru Bantu. Disela-sela mengajarkan ilmu kelautan kepada murid-muridnya, R.E. Martadinata juga menanamkan jiwa nasionalisme dengan semboyan “ Kuasailah Lautanmu”. Semboyan tersebut merupakan ungkapan semangat dari sanubari yang paling dalam dari anak pribumi karena selama berabad-abad lautan Indonesia dikuasai oleh bangsa asing. Berkat kepintarannya, pada tanggal 1 November 1944, Beliau diangkat menjadi Nahkoda kapal Pelatih dari kapal Dai-28 Sakura.
Dengan bekal keahliannya dalam ilmu pelayaran, R.E. Martadinata bersama-sama dengan para pemuda lulusan SPT, para pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya ikut aktif membantu persiapan kemerdekaan. Para pemuda dan pelaut dengan semangat nasionalisme yang tinggi ini bergabung dan membentuk “Barisan Banteng Laut” dipimpin R.E. Martadinata yang bermarkas di Penjaringan Jakarta. Kesatuan laskar Barisan Banteng Laut ini merupakan bagian penting dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, kelompok bahariawan ini berhasil menghubungi Bung Karno dan Bung Hatta untuk berdiskusi dan menyampaikan informasi dalam rangka membantu persiapan proklamasi.
R.E. Martadinata menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jl Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR maka ia dkk-nya membentuk BKR Laut yang berubah menjadi TKR Laut, diubah lagi menjadi TRI Laut dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI. Sebagai Kepala Staf Operasi V (Bagian Perencana), ia mencurahkan perhatian dalam penyelesaian keruwetan ALRI. Salah satunya adalah soal kedudukan dan pembagian tugas antara MBU. ALRI di Yogyakarta dengan Markas Tertinggi (MT). ALRI yang berkedudukan di Lawang, yang dibentuk berdasarkan spontanitas pemuda-pemuda pelaut di Jawa Timur ia menginginkan agar perwira-perwira senior di Yogyakarta dan di Lawang dapat menyatukan diri dalam wadah Markas ALRI yang tunggal. januari 1947 dibentuk Dewan Angkatan Laut (DAL) yang diserahi tugas menyelesaikan masalah tersebut.
Dunia pendidikan selalu dekat dengan perjuangannya yaitu ketika diangkat menjadi komandan Latihan Opsir Kilat ALRI di Kalibakung. Ketika meletus Agresi Militer pertama Belanda, ia bersama-sama dengan para siswa terjun ke medan pertempuran dan bergerilya menghadapi Belanda di sektor Tegal dan Pekalongan. Usai bertempur, ia ditunjuk untuk membuka pendidikan perwira Basic Operation School di Sarangan sebagai kelanjutan pendidikan di Kalibakung. Sejak tanggal 1 Desember 1948, R.E. Martadinata mendampingi KSAL R. Soebijakto membentuk Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA) untuk mengorganisir armada penyelundup, Training Station Serang Jaya dan kebutuhan logistik. Ketika menjadi Wakil Kepala Staf AL daerah Aceh, ia mendapat tugas untuk mengendalikan kegiatan staf yang mencakup dua bidang yakni melaksanakan pendidikan dan mengkoordinasi kegiatan "Armada Penyelundup" senjata dari luar negri untuk membantu perjuangan. Bulan Oktober 1949 ia kembali ke Jawa. Saat itu sudah tercapai gencatan senjata antara RI dan Belanda. Sesuai kesepakatan, Belanda menyerahkan peralatan perangnya kepada Angkatan Perang RI, salah satu diantaranya Kapal Perang HMS Morotai yang kemudian diubah namanya menjadi KRI Hang Tuah dan R.E. Martadinata diangkat menjadi Komandannya. KRI Hang Tuah merupakan Kapal Perang terbesar saat itu, digunakan untuk operasi-operasi militer menumpas pemberontakan gerombolan Andi Azis di Ujung Pandang dan RMS di Maluku.
Ia berkesempatan mengikuti pendidikan United States Navy Post Graduate School di AS. Bersama Yos Sudarso mendapat tugas khusus selama tiga tahun di Italia untuk mengawasi kapal-kapal yang dipesan RI. Sekembalinya dari Italia, ia diangkat menjadi Hakim Perwira pada pengadilan Tentara di Medan Jakarta dan Surabaya. Akhir tahun 1958, ia mendapat tugas kembali mengawasi pembuatan pesanan kapal di Yugoslavia. Sekembalinya ke tanah air, terjadi pergolakan kembali di ALRI. Untuk mengatasi pergolakan tersebut, ia diangkat menjadi Kepala Staf ALRI yang bertugas meningkatkan pemeliharaan dan stabilitas keamanan, melaksakan koreksi serta penertiban ke dalam. Puncak karir di ALRI ketika diangkat menjadi KSAL pada tanggal 17 Juli 1959 dan saat itu dilakukan pe­rubahan dengan program “Menuju Angkatan Laut yang Jaya” dengan bertitik tolak pada konsepsi Wawasan Nusantara. Membangun Angkatan Laut yang kuat perlu penataan kekuatan Armada dan operasi yang didukung dengan pendirian darat. Armada Angkatan Laut menjadi bertambah kuat dengan pengadaan kapal perang, pesawat udara, pasukan komando dan peralatannya serta pendirian fasilitas pangkalan secara moderen sehingga pada tanggal 5 Desember 1959 lahirlah Armada Republik Indonesia yang menjadi kekuatan ter­besar di Asia Tenggara dan menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.
Sementara itu, PKI melancarkan pemberontakan yang dikenal dengan G.30.S/PKI. Dalam keadaan krisis tersebut, ia segera memberikan reaksi mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan AD untuk menumpas G.30.S/PKI. Dengan tindakan tersebut, ternyata tidak disenangi oleh Presiden Soekarno, maka jabatan sebagai Mentri/Panglima Angkatan Laut diberhentikan. Setelah ORBA, ia diangkat menjadi Duta Besar dan Berkuasa penuh RI untuk Pakistan. Tanggal 6 Oktober 1966, Helikopter yang dikemudikannya menabrak bukit dan dalam kecelakaan tersebut Laksamana Laut R.E.Martadinata tewas. Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini pada tanggal 7 Oktober 1966.
Memang banyak Perilaku yang patut dicontoh dari R.E. Martadinata. Mulai dari kegigihannya untuk selalu belajar. Pada masa mudanya, R.E. Martadinata banyak bersekolah di sekolah-sekolah Belanda maupun Jepang. Kita semua tahu, betapa sulitnya untuk bisa sekolah dan diterima di sekolah Penjajah pada Jaman dahulu. Namun, berkat kegigihan dan keuletannya, R.E. Martadinata mampu masuk ke sekolah tersebut. Hal ini tentu saja  sangat bagus, apalagi berkat kemauan kerasnya untuk selalu belajar, R.E. Martadinata diangkat menjadi Guru pembimbing, bahkan sampai diangkat menjadi nahkoda kapal pelatih dari kapal Jepang yang bernama Dai-28 Sakura. Hal yang patut diteladani dari R.E. Martadinata selanjutnya adalah, dihari-harinya saat mengajar, R.E. Martadinata selalu mengajarkan paham Nasionalisme kepada  murid-muridnya, hal ini tentu saja sangat penting, karena dengan pengajaran paham nasionalis ini membuat murid-muridnya tidak terlena kepada para penjajah dan menambah kecintaan terhadap Negara Indonesia sendiri. Dari sisi keberanian, R.E. Martadinata sudah tidak perlu diragukan lagi. Begitu banyak jasa beliau untuk kejayaan Indonesia, mulai dari peran aktifnya saat merampas kapal Jepang pada saat proklamasi, menyita Kapal Belanda yang kemudian dinamai Kapal Hang Tuah, sampai meredakan aksi-aksi separatis RMS di Maluku. R.E Martadinata selalu berani untuk mengambil resiko sebesar apapun. R.E. Martadinata harus kehilangan pekerjaannya sebagai Laksamana angkatan laut karena melakukan sebuah tindakan tanpa dikomado terlebih dahulu. Tetapi, tetap saja, berkat keuletan dan kreatifitasnya R.E. Martadinata sukses menjadi duta besar Indonesia-Palestina dan berkuasa penuh atas pekerjaannya.
Banyak sekali penerapan perilaku-perilaku R.E. Martadinata yang dapat diterapkan pada saat ini, terutama pada keuletan dan kegigihannya. Kita dapat mencontohnya saat ini juga, misal dalam hal perkuliahan, belajar dengan sungguh-sungguh dan benar sangat diperlukan untuk kemajuan bangsa di kemudian hari. Dengan kegigihan dan keseriusan, maka prestasi akan diraih satu per satu. Kemudian, jangan terlena dengan kepintaran yang telah diraih, kita harus berbagi kepada teman-teman di sekitar. Dengan berbagi ilmu, akan banyak manfaat yang akan didapat, seperti menambah kedekatan, menambah jaringan, bahkan dapat menambah pemahaman kita terhadap apa yang kita ajarkan. Nasionalisme juga harus kita tumbuhkan dalam diri kita. Apalah gunanya ilmu yang berlimpah jika akhirnya digunakan untuk memajukan negara lain. Namun, tak ada salahnya juga jika hal itu digunakan untuk menambah pengalaman yang nantinya akan memajukan bangsa Indonesia. Kemudian, keberanian kita dalam hal yang tepat, seperti keberanian mengajukan pendapat, keberanian memberikan ide, dan sebagainya harus diasah agar kreatifitas dan mental kita terasah. Ini sangat penting untuk bersama-sama membangun bangsa kita akar lebih jaya di kedepannya.

Tulisan ini diambil dari berbagai sumber dan ide pribadi, sumber:
http://id.shvoong.com/books/biography/2125304-biografi-laksamana-laut-martadinata/#ixzz2QjFmV3l3
http://www.tnial.mil.id/Aboutus/Sejarah/Biografi/tabid/116/articleType/ArticleView/articleId/5487/LAKSAMANA-LAUT-RE-MARTADINATA.aspx

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

1 comment: